Memahami Dunia Anak
- oleh dinsos@kulonprogokab.go.id
- 08 November 2023 15:14:51
- 219 views

MEMAHAMI DUNIA ANAK
Oleh : Bisri Mustofa, S.Sos. M.IP
Anak Dambaan Setiap Orang Tua
Anak merupakan misteri yang sangat luar biasa. Betapa tidak, sejak berada dalam kandungan, calon buah hati telah memberikan perasaan senang dan bahagia bagi ayah bunda, kakek nenek, kakak adik, om tante, paman bibi, dan orang di sekelilingnya. Dari perbaikan nutrisi dan memberikan chek up ke dokter atau bidan yang terbaik, sampai mempersiapkan segala sesuatunya, membeli pakaian, tempat tidur, memperdengarkan ayat suci, lagu-lagu klasik, dan sebagainya. Semua karena akan hadir seorang dambaan hati.
Untuk memaksimalkan kecerdasan otak calon bayi, diberikanlah macam-macam vitamin dan makanan yang bergizi tinggi. Agar mempunyai akhlak dan perilaku yang baik, setiap kesempatan, orang tua selalu memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar anaknya kelak menjadi anak yang baik. Diundangnya sanak keluarga dan tetangga untuk mendoakan dalam tradisi mapati, mitoni, dan sebagainya. Seluruh langkah tersebut dilakukan demi kebaikan anak.
Begitu yang dinanti telah lahir, syukur yang disampaikan kepada Tuhannya bertambah banyak. Kebahagiaan semakin membuncah ketika ternyata sang jabang bayi lahir dengan normal, sekaligus sehat dan lucu. Nah, sekarang tinggal bagaimana mendidik anak tersebut menjadi diri mereka sendiri atau menjadi sebagaimana yang kita inginkan. Menjadi diri mereka sendiri berarti memberikan keleluasaan (dengan arahan kita) agar mereka memilih untuk yang terbaik bagi mereka. Adapun menjadikan mereka seperti yang kita inginkan, bisa jadi kita memaksakan kehendak kita, walaupun tidak sesuai dengan kondisi dan bakat minat mereka.
Lalu, bagaimana membentuk anak kita seperti yang kita inginkan, akan tetapi tanpa memaksakan kehendak kepada mereka? Berikut cara membina anak agar menjadi dambaan kita.
Pertama, didiklah mereka dengan lemah lembut. Anak terlahir bagaikan kertas putih. Orang tuanyalah yang akan mewarnai perilaku dan karakternya. Kalau ada orang tua mengatakan, ”Aku tidak mengajari anak membentak orang yang lebih tua,” atau ”Siapa yang ngajari kamu, sehingga kamu berbohong, hah.” Perkataan yang sadar atau tidak justru mengarah pada dirinya sendiri. Mengapa?
Anak dapat melakukan sesuatu karena pernah melihat. Dengan memperhatikan dan mengalami, anak belajar dan menyerap informasi sebanyak-banyaknya. Dalam pandangan anak, dia berada dalam lingkungan raksasa di kanan kirinya. Bapak ibu dan orang sekitarnya adalah raksasa yang mempunyai besar badan dan suara tiga kali lipat dari yang dimilikinya. Suara yang dikeluarkan orang lain sangat menggelegar bagaikan petir di telinganya. Itu dengan suara yang biasa, apalagi marah-marah sebagaimana perkataan tersebut di depan.
Wajar saja apabila anak mengucapkan kata-kata dengan menjerit. Teriakan orang tuanya merupakan penyebab mengapa anak berkata-kata dengan suara yang keras. Oleh sebab itu, didiklah anak-anak dengan lemah lembut. Lemah suaranya dan lembut sikapnya. Untuk menghindari sikap dan kata-kata yang kasar, bersikap dan berkatalah sebagaimana anak kita bersuara dan bersikap, yakni dengan lemah lembut dan penuh sopan santun.
Lemah lembut kepada anak bukan berarti menuruti semua keinginan anak. Pahamilah dulu keinginan dan kekonyolan sikapnya. Ambil waktu yang tepat untuk mengarahkannya kepada yang lebih bermanfaat. Arahkan dengan lembut, penuh kasih sayang, dan belaian mesra atau pelukan hangat. Katakan kepada mereka mana yang benar dan mana yang tidak benar dengan argumentasi yang tepat dan logis tentunya menurut kadar nalarnya.
Hukuman dan perkataan kasar adalah sesuatu yang sangat tidak diinginkan anak. Alasan yang kemudian muncul adalah ini semua demi kebaikan anak. Biar mereka dapat mengerti kalau salah harus dihukum dan sebagainya. Padahal yang dirasakan anak adalah orang tuanya sudah tidak menyayanginya lagi. Kemarahan dan kata-kata kasar, menurut mereka adalah bentuk menyalahkan anak. Ingat! Sehebat apa pun kesalahan anak, mereka tidak akan pernah suka disalahkan.
Maka cara yang paling tepat adalah mendidik mereka dengan lemah lembut. Hindarkan kemarahan sebagaimana kita marah dengan orang yang seusia kita. Berikan pengertian dengan kasih sayang, tataplah matanya tajam-tajam, baca apa yang ada dalam pikiranya. Dalam keadaan marah sekalipun, kita harus dapat mengendalikan diri.
Menurut Dr.Burstein dalam bukunya Book on Children, ”Anak biasanya memberikan tanggapan (reaksi) yang lebih baik bila diberi senyum dan diajak bicara dengan sikap hangat dan penuh kasih sayang.” Justru dengan kasih sayang, kita akan mendapatkan anak-anak kita penuh pengertian dan berperilaku santun.
Kedua, kendalikan emosi. Sudah menjadi kewajiban orang tua mengerahkan seluruh pikiran dan tenaga guna mendapatkan sesuatu yang akan dimanfaatkan untuk membesarkan anaknya. ”Wajarlah kalau aku marah sama anakku, aku membanting tulang mencari nafkah juga untuk mereka, aku ingin anakku menghargai aku.” Begitulah kira-kira ungkapan kekesalan orang tua yang anaknya tidak mau diatur dan menurut.
Apakah tepat kata-kata dan perilaku orang tua tersebut? Tentu saja tidak. Perilaku anak tidak ada hubungannya sama sekali dengan kewajiban orang tua memberikan nafkah bagi mereka. Mencari penghidupan merupakan kewajiban yang harus diupayakan orang tua. Mendidik dan mengasuh anakjuga menjadi kewajiban yang tak kalah penting. Keikhlasan adalah kunci keduanya. Dengan menganggap bahwa semua yang dilakukan adalah ibadah, maka orang tua tidak akan menghubungkan antara kewajibannya dan penghargaan anak terhadapnya.
Kesalahan yang dilakukan anak bukanlah murni kesalahan. Mereka masih menjalani proses belajar dengan apa yang ada di sekitarnya. Kalau sebuah kesalahan dilakukan maka kemudian direaksi oleh orang tuanya dengan kata-kata kasar, hinaan, dan ancaman, maka anak akan merasa tidak disayang dan dihargai. Kita harus memandang kesalahan tersebut sebagai sebuah kewajaran sembari memberikan pengertian dan pemahaman tentang kesalahan yang telah diperbuatnya.
Perlakuan orang tua yang demikian akan menimbulkan kesan bahwa anak dihargai. Walaupun anak-anak, mereka tetap mempunyai harga diri sebagaimana orang dewasa. Mereka tidak ingin harga dirinya diremehkan orang lain, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam diri mereka juga berlaku keinginan untuk mempertahankan harga diri, walaupun dengan melawan.
Sebagai orang tua kita harus menahan dan mengendalikan emosi dalam menghadapi kesalahan anak. Temukan alasan dari mereka, mengapa melakukan kesalahan itu, apa penyebabnya. Dengarkan ucapan mereka. Jadilah pendengar yang baik. Sesekali berikan senyum atas alasan yang mereka kemukakan. Kemudian bahaslah alasan itu sehingga anak menemukan bahwa ternyata perbuatan yang dilakukan adalah salah. Justru anak merasa dihargai bukan digurui.
Dalam kesempatan lain, janganlah menjelek-jelekkan anak karena dia pernah berbuat salah, apalagi di depan temannya. Jangan mengungkit masalah yang telah lalu. Mungkin diperbolehkan kalau mengungkit kebaikan yang pernah diperbuatnya. Perhatikan perubahan perilakunya, kalau perlu pujilah mereka.
Emosi orang tua adalah wajar, apalagi dalam kondisi yang tertekan dan membutuhkan pelampiasan emosi, sehingga kadang anak yang menjadi korbannya. Biasanya emosi seorang ibu yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain mendidik anak, disebabkan oleh beberapa hal yaitu, kelelahan mengerjakan urusan rumah tangga, kebosanan terkungkung di rumah, jenuh dengan pergaulan yang terbatas, kurang dihargai suami dan lingkungan, pelampiasan konflik dengan suami, dan faktor internal dirinya.
Dalam kondisi yang demikian, diperlukan pengertian dari orang lain dan keluarga. Tugas rumah tangga bukanlah kegiatan yang ringan. Kita harus mampu menghargai secara maksimal peran ibu yang tidak bekerja di luar rumah. Justru pekerjaan terberat adalah sebagai seorang ibu, yang tidak mengenal waktu selama 24 jam harus selalu siap dan siaga apabila dibutuhkan. Dengan menghargai pekerjaan ibu maka pendidikan anak-anaknya juga secara tidak langsung berjalan dengan baik.
Ketiga, berprasangka baik terhadap anak. Ulah apa pun yang dilakukan anak, kita harus mempunyai prasangka baik. Kadang anak berlarian kesana kemari dan membuat berantakan apa yang ada di dalam rumah, barang-barang diambil dibuat mainan sebentar, kemudian mengambil lagi yang lain, lantas ditinggalkan dan demikian seterusnya. Rumah pun bisa dikatakan laksana kapal pecah. Selanjutnya, kita berteriak, ”Anak bandel! Anak kurang ajar! Anak jorok! Cepat kumpulkan barang mainanmu, tempatkan pada tempat sebelumnya, ayo cepaaat!!”
Ingat! Kita telah melakukan kesalahan besar kalau sampai mengeluarkan kata-kata semisal itu kepada anak kita. Sudah dapat dipastikan jawaban yang akan muncul adalah, ”Tidak mau, tidak mau, ibu jahat, Ibu nggak sayang,” dan sejenisnya. Seharusnya yang kita ucapkan adalah, ”Nak, ibu baru memasak untukmu, bisa tolong Ibu untuk mengembalikan mainanmu ke tempatnya, kamu kan anak Ibu yang paling baik?" atau kata-kata lainnya yang halus sesuai dengan situasi dan kondisi.
Kata yang disampaikan kepada anak tersebut menekankan kepercayaan kepada anak bahwa dia anak yang baik dan tidak nakal. Kepercayaan salah satu bentuk pengakuan dari kita kepada anak. Kalau sudah dipercaya, anak akan berusaha menjaga kepercayaan tersebut dengan sungguh-sungguh. Kepercayaan hadir karena prasangka baik kita terhadap mereka.
Sebaliknya, kalau kita selalu berprasangka buruk dan mengucapkan, ”Memang kamu anak nakal, kenapa tidak seperti teman-temanmu yang lain, kenapa kamu tidak menuruti kata-kata Ibu?” dan sebagainya, maka akan tertanam di benak anak bahwa dia memang anak yang nakal dan tidak patuh. Dan selamanya akan terjadi hal-hal yang mengarah ke kenakalan dan ketidakpatuhan.
Prasangka baik bagaikan kita melihat cahaya putih yang terang benderang. Anak seakan sesuatu yang terang tersebut.
Dalam keadaan gelappun cahaya itu akan terlihat putih dan kegelapan sirna. Sejelek apapun perilaku anak, kalau kita berperasangka baik maka kita dapat melihat sisi terangnya. Anakpun akan senang diberi “cap” terang tersebut . Dia akan selalu berusaha menjadi “terang”.
Prasangka buruk akan mengantarkan perbuatan anak menjadi buruk. Ibaratnya, kita melihat dengan kacamata hitam padahal dalam keadaan mendung. Bagaimana mau terang, pakai kacamata hitam pula! Jadi, anak yang sebenarnya mempunyai potensi kebaikan, tetapi potensi trrsebut tidak akan kelihatan karena kita telah memberikan ”cap” buruk kepada anak. Akhirnya, kalau anak melakukan kesalahan, langsung dikatakan, ”Nah, itu kan apa Ibu bilang, kamu memang anak nakal.” Dan ketika dia melakukan kebaikan, "Tumben-tumbenan kamu baik, kesantet setan mana lo!”
Nah, untuk menghindari prasangka buruk, orang tua dapat melakukan kilas balik, meninjau ulang tentang hal yang berkaitan dengan terbentuknya kepribadian anak, yaitu,
1). Meyakini dengan sepenuh hati bahwa anak terlahir dalam keadaan fitrah. Ibarat kertas putih, orang tualah yang bertanggung jawab hitam birunya kertas itu. Anak mempunyai kepribadian baik atau buruk tidak lepas dari peran orang tua dalam membentuknya. Jadi, sadarilah bahwa kesalahan anak tidak lepas dari peran orang tua.
2). Setelah anak dapat bergaul dengan orang lain, lingkungan juga mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian anak. Teman main di lingkungan rumah, teman sekolah, perlakuan guru di sekolah akan memberikan pengaruh terhadap karakter dan perilaku anak.
3). Pola asuh yang diterima anak, baik dari orangtua maupun keluarga yang lain, seperti kakek nenek, paman dan bibinya, juga mempunyai pengaruh terhadap kepribadian anak. Pola asuh harus selalu dipantau orang tua agar searah dan sama dalam mengasuh anak. Jangan sampai orang tuanya memberikan tanggung jawab kepada anaknya, sedangkan di tempat neneknya selalu dimanja. Hal ini akan membingungkan anak, dan kondisi tersebut akan berdampak terhadap pembentukan kepribadian mereka tanpa kita sadari. Anak harus memahami, mengapa kalau di rumah nenek diperlakukan seperti raja, sedangkan di rumah seperti pembantu, misalnya.
4). Metode mengajar yang digunakan oleh guru di sekolah. Metode yang hanya menekankan transfer pengetahuan dari guru ke muridnya tidak memberikan pengaruh yang baik bagi kepribadian anak. Anak seakan dijejali begitu banyak pengetahuan tanpa diberi kesempatan untuk menemukan potensinya. Metode mengajar yang baik adalah strategi yang dapat memunculkan kreativitas, ide, eksplorasi gagasan, dan penemuan sesuai dengan pelajaran yang diterima. Anak diarahkan untuk menemukan materinya sendiri, tidak hanya menerima.
5). Faktor egosentrisme. Setiap anak mempunyai potensi ingin semaunya sendiri dan tidak peduli dengan orang lain. Egosentrime mendorong anak untuk memilih sesuatu yang menyenangkan dirinya sendiri. Orang tualah yang mempunyai tugas untuk menghapus sisi negatif dari sifat tersebut. Hal ini membutuhkan kesabaran dan kcsadaran untuk mengubah sifat pada anak tak semudah membalik tangan.
Faktor yang memengaruhi terbentuknya kepribadian anak harus terus digali, dipahami dan dicarikan pemecahan dari masalah yang timbul. Ada faktor yang timbul dari anak itu sendiri (internal factors) dan faktor yang berada di luar dirinya (external factors). Jangan pernah bosan untuk mengurus anak. Jangan pernah putus asa atas rahmat dan amanah yang diberikan Tuhan kepada kita.
Keempat, tumbuhkan kepatuhan anak dengan wibawa orang tua. Orang tua harus berpikir, mengapa perintahnya tidak digubris oleh anaknya? Mengapa anak cenderung tidak patuh dan justru melawan perintah? Keadaan tersebut dikarenakan orang tua tidak mempunyai wibawa di mata anaknya sendiri. Islam menawarkan sebuah solusi agar orang tua berwibawa di hadapan anaknya atau orang lain.
Konsep sederhana dalam Islam adalah sebagaimanafirman Allah berikut, ”Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanyn atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (Q.S.al-Muzzammil ayat 2-5)
Ayat tersebut menyajikan konsep kewibawaan terhadap seseorang. Barang siapa yang bangun dan sembahyang untuk mendekat kepada-Nya di sepertiga malam terakhir serta membaca ayat suci maka dijanjikan mendapatkan qaulan tsaqila, yaitu perkataan yang berat (berwibawa).
Tunggu apa lagi? Cara jitu bagi orang tua yang beragama Islam untuk mendapatkan perkataan yang berwibawa adalah shalat di sepertiga malam terakhir dan membaca Al-Qur’an. Bagi yang berkeyakinan selain Islam maka bangun malam adalah waktu yang tepat untuk mendekat kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Perkataan yang berwibawa akan membuat anak mematuhi perintah orang tuanya atau gurunya. Baik ketika memberikan perintah maupun menyampaikan penjelasan ketika anak melakukan kesalahan. Kewibawaan tidak datang begitu saja, harus ada proses pendekatan diri kepada Tuhannya melalui sembahyang dan membaca kitab suci.
Kita masih ingat, betapa guru dan orang tua pada zaman dulu mempunyai kewibawaan yang luar biasa kuat. Kita tahu mereka memang orang yang kuat prihatin, termasuk bangun malam untuk mendekat kepada-Nya, melaksanakan puasa, memahami arti kitab suci, dan sebagainya. Tidak heran apabila perkataan dan sikap mereka sangat berwibawa. Bagaimana dengan kita? Hanya kita yang tahu.
Setidaknya, sebagai orang tua harus mengupayakan penjelasan yang bisa dimengerti oleh anak ketika dia melakukan kesalahan. Alasannya harus masuk akal dan anak dilibatkan dengan menampung apa yang mereka katakan. Alasan yang masuk akal lebih mengena daripada kita harus berbohong bahwa, ”Kalau kamu nggak mau nurut, ntar ada setan yang akan memakanmu”, atau, ”Tidakkah kamu takut kalau kuntilanak itu suka makan anak yang nggak mau makan?” dan sebagainya.
Pada mulanya mungkin anak takut dengan ancaman seperti itu, tapi jangan salahkan anak kalau sewaktu dewasa dia menjadi penakut dan tidak percaya diri. Oleh sebab itu, berpikirlah dahulu bagaimana akibat dari ancaman yang kita utarakan pada anak. Bisa jadi, perkataan kita tersebut menjadi bumerang bagi kehidupan mereka selanjutnya. Waspadalah!
Kelima, hargai perbuatan konyol anak. Anak mempunyai pikiran yang masih sempit. Alasan yang disampaikan saat melakukan kesalahan terkadang konyol belaka. Ketika anak bertanya di mana bolpoin dan pensilnya, orang tua mengatakan, ”Sudah beratus kali Ibu katakan, letakkan bolpoin dan pensilmu dalam tas, kamu memang ngeyel banget ya.” Dengan jawaban seperti itu, apakah anak merasa lega dan senang? Pasti tidak! Justru anak merasa, kenapa sudah bingung mencari tapi justru mendapatkan omelan dari Ibu? Ibu yang demikian telah gagal memahami kesulitan anak.
Jawaban dengan nada menyerang dan memvonis serta sederet kalimat nasihat, bukannya membuat anak senang dan menemukan barang yang dia cari, akan tetapi menggumpal tidak senang kepada orang tuanya. Ini tidak boleh terjadi. Anak yang terbiasa dipersalahkan akan berakibat memiliki mental yang lemah dan tidak percaya diri.
Beda dengan jawaban seorang ibu bijak, ”Sayang, dua hari lalu bolpoinmu ada di laci lemari di bawah TV, coba cari di sana, barangkali ada, pelan-pelan ya.” Walaupun ibu tidak menolong mencarikan, akan tetapi anak mendapat jawaban yang menenteramkan hati. Selanjutnya, anak akan termotivasi untuk mencari barang yang hilang tadi. Demikian seterusnya.
Itulah lima rekomendasi atau saran yang sepatutnya dipraktikkan orang tua agar dapat memahami karakter dan kepribadian anak. Semakin memahami secara mendalam hal tersebut, diharapkan anak tidak lagi menjadi bumerang bagi orang tua. Justnr sebaliknya, menjadi penyejuk keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Untuk memahami kepribadian anak, Freud membaginya dalam lima kategori struktur kepribadian, yaitu : 1). Biologis (id/es) adalah dorongan, naluri, dan kebutuhan yang keluar dari manusia secara spontan. 2). Psikologis (ego/ich), atau aku manusia yang berhadapan dengan id dan superego. 3). Sosiologis (superego) adalah hakim yang memasang norma atau tuntutan yang dengannya kelakuan manusia harus sesuai dengan norma atau tuntutan tersebut. Superego digambarkan sebagai ”aku” di atas ”aku.” Karena itu, ia berfungsi sebagai pengawas batin. Efek kerjanya menimbulkan rasa malu, takut, cemas, dan seterusnya. 4). Ideal ego adalah interelasi dari gambar-gambar seseorang yang dikagumi. Dengan pengertian lain sesuatu bagi si ego sangat dicita-citakan untuk ditiru. 5). Suara batin adalah semacam keinsyafan ego tentang adanya kewajiban.
Secara biologis, anak mempunyai naluri dan dorongan yang terkadang berwujud perilaku secara spontan. Secara psikologis, mereka cenderung untuk mempertahankan harga dirinya, dia tidak mau disalahkan oleh orang lain. Adapun secara sosiologis, anak mampu dan mau patuh dengan aturan, dia akan menurut apabila aturan tersebut disampaikan penuh pengertian dan kasih sayang. Anak juga akan mempunyai tokoh yang akan disenangi dan diteladani, baik dari orang tua maupun cerita tokoh yang kita dongengkan.
Jadi dengan memahami sifat dasar anak, kita dapat mendidik mereka secara maksimal sesuai dengan kondisi yang ada menuju tumbuh kembang yang normal dan tidak mengandung unsur kekerasan, menyalahkan anak, kesewenang-wenangan dan pemaksaan kehendak dari orang tua. Dengan itu, kita akan mendapatkan buah hati dambaan ayah bunda dan orang di sekelilingnya.
Orang tua juga harus melihat dirinya sendiri dengan introspektif. Apakah ada sikap yang diterapkan kepada anaknya mengandung unsur kekerasan dan pemaksaan kehendak? Orang tua harus menyadari keadaannya dan mengevaluasi kondisi keberagamaannya. Semakin dia menyadari kondisinya maka akan lebih mudah menentukan sikap dan pendidikan kepada anaknya.
Menurut Daniel Coleman, untuk mencapai derajat kesadaran diri maka manusia secara pribadi harus, 1) Mampu bersikap fleksibel, 2) Memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi, 3) Mampu menghadapi dan memanfaatkan (mengambil hikmah) dari sebuah penderitaan, 4) Hidup berkualitas yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, 5) Mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal yang berbeda, 6) Senantiasa mempertanyakan hal-hal mendasar seperti, ”Siapakah saya?”, ”Apa makna kehidupan saya?”, dan ”Apa tujuan hidup ini?”
Intinya, sebagai orang tua kita harus bersikap luwes terhadap perubahan anak, menyadari dan mengambil pelajaran dari suatu kejadian, meningkatkan kualitas hidup, mampu menghubungkan permasalahan dan mencari solusinya serta mereaktualisasi tujuan hidup, yaitu hanya menyembah kepada-Nya.
Dunia Imajinasi dan Fantasi Anak
Setelah memahami anakdengan sifat dasar dan bagaimana kita menyikapinya, di sisi lain anak juga mempunyai ”dunia lain”, yaitu dunia imajinasi atau khayalan. Sejauh mana daya khayal anak ketika merespon sebuah kejadian atau dongeng yang dia dapatkan? Apa yang perlu kita lakukan dengan kondisi anak yang demikian? Berikut ulasannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, daya imajinasi berarti daya pikir untuk membayangkan sesuatu atau khayalan. Imajinasi semakna dengan fantasi yaitu daya untuk menciptakan sesuatu dalam angan-angan. Berimajinasi dan berfantasi merupakan bagian dari dunia anak yang harus dimanfaatkan untuk membangun khayalan positif dalam alam bawah sadar mereka, sehingga diharapkan akan menggerakkan perilaku positif dari imajinasi yang positif tersebut.
Imajinasi terbangun dari informasi yang didapatkan dari kejadian di luar dirinya. Mendengarkan cerita merupakan cara yang ampuh untuk mengembangkan dunia imajinasi anak. Misalnya, ”pada waktu Raden Syahid (Sunan Kalijaga) merampok Sunan Bonang yang membawa tongkat emas maka Sunan Bonang berkata, ”Kalau kamu mau emas, ambillah di pohon kolang kaling itu”, dilihatnya pohon itu penuh dengan emas.
Melihat kejadian itu, Raden Syahid merasa bersalah dan memohon untuk menjadi murid Sunan Bonang. ”Kalau kamu mau menjadi muridku, tunggulah tongkatku ini, jangan berdiri sebelum aku datang,” begitu Sunan Bonang berkata. Ternyata Raden Syahid menunggu tongkat itu berpuluh tahun lamanya sehingga tumbuhan dan semak belukar menutupi seluruh tubuhnya.
Cobalah lihat ekspresi anak kita ketika mereka mendengarkan sebuah cerita, baik yang kita bacakan sendiri maupun orang lain. Di wajah mereka seakan menerawang jauh ke awan. Daya imajinasinya melonjak, meloncat, dan melayang sesuai dengan khayalannya masing-masing. Di matanya terkandung sejuta pertanyaan dan khayalan, gerangan apa yang terjadi setelah ”Sunan Kalijaga ditinggal oleh Sunan Bonang di pinggir kali sambil menunggu tongkatnya selama berpuluh tahun lamanya.”
Kita dapat membuat ending cerita dengan memberikan hikmah di balik kisah yang diceritakan. Kita dapat menyimpulkan bahwa, ”Setelah itu Sunan Kalijaga menjadi orang yang hebat. Itu karena dia sangat taat dan patuh kepada gurunya. Apabila dia tidak mau menunggu tongkat itu dan memilih membawa kabur tongkat yang ada emasnya, maka dia tidak akan menjadi sunan sehebat itu.”
Imajinasi yang akan dibangun anak adalah betapa Sunan Kalijaga yang sudah sakti saja masih mencari guru dan mau belajar dengan sungguh-sungguh, apalagi kita (anak) orang biasa, maka harus mencari ilmu dan patuh kepada guru. Dari fantasi tersebut, anak telah mendapatkan pelajaran berharga, yaitu mencari ilmu dan belajar sungguh-sungguh dengan usaha semaksimal mungkin.
Dunia anak adalah dunia cerita, dunia seribu satu malam. Cerita bagi mereka merupakan kondisi yang seharusnya terjadi. Tokoh yang ada dalam suatu cerita, bisa jadi menjadi idola mereka. Itulah anak! Mereka sangat mudah terpengaruh suatu cerita dan memiliki kecenderungan meniru tokoh yang ada dalam cerita tersebut.
Setelah mendengarkan cerita tentang Sunan Kalijaga, angannya langsung melayang. Dia ingin mengembara dan bertemu dengan kakek sakti yang akan menurunkan ilmunya. Dia membayangkan betapa senangnya jadi anak yang sakti, pasti teman-temannya akan segan kepadanya. Dia mulai membuat tongkat, ditancapkannya di pinggir sungai. Mulailah dia mencoba duduk bersila dan memegangi tongkat tersebut, seraya memejamkan matanya dan meletakkan tangannya di depan dadanya.
Imajinasi anak tidak cukup sampai di sana. Malamnya dia mengenakan sarung dan mencoba mengenakan serban. Di tangannya telah siap tasbih besar, mulutnya komat kamit, membaca doa atau zikir. Itulah anak, dia mencoba berbuat seperti idola yang didapat dari cerita yang didengarnya.
Sebagai orang tua, kita harus selektif memilih cerita dan dongeng. Begitu sensitifnya anak terhadap tokoh yang ada dalam suatu cerita atau dongeng, sehingga kita harus berhati-hati membuat penokohan dalam cerita tersebut. Tokoh yang dipilih harus mempunyai karakter positif, memiliki perilaku yang dapat dicontoh dan penuh dengan pesan moral di dalamnya.
Kisah teladan yang akan diceritakan boleh dari cerita adat, dongeng, dan mitos yang dipercayai masyarakat. Akan tetapi sebisa mungkin tetap memberikan pengertian kepada mereka mana yang benar dan mana yang cerita bohongan. Anak boleh mengetahui nilai fiksi sebuah dongeng akan tetapi tidak perlu mempercayai kebenaran dari cerita atau dongeng tersebut. Namanya juga dongeng!
Lalu, bagaimana kalau anak mulai ”bohong”? Yang dimaksud bohong di sini adalah dia mengatakan bahwa tumbuh-tumbuhan dapat bernyanyi, buah mangga dapat bicara, tomat dapat menangis dan sebagainya. ”Kebohongan” anak justru merupakan imajinasinya yang kuat. Dia belum dapat membedakan mana yang bohong mana yang benar. Hal tersebut datang dari refleksi imajinasi dan olah pikiran bawah sadarnya. Kita tidak boleh menyalahkan mereka, kita justru harus menghargai imajinasi tersebut.
Ide-ide selanjutnya akan muncul kalau kita menghargai dan mendukung imajinasi anak tersebut. Mungkin kita bisa mengatakan, ”Wah, kalau tomat bisa menangis, sama dong kayak adik, kira-kira tomat kalau mandi bagaimana ya?” Anak akan mengembangkan fantasinya sesuai dengan kondisinya. Kreativitasnya akan muncul kalau kita sebagai orang tua memberikan stimulus (rangsangan dengan pertanyaan atau godaan). Biarkan anak bereksplorasi dengan imajinasinya.
Sebagai orang tua, kita hanya mengawal imajinasi tersebut dengan memberikan pengertian kepada anak sedikit demi sedikit, mana yang sekadar imajinasi dan mana yang nyata. Jangan hanya mengiyakan khayalannya. Anak harus mengetahui batas antara dunia imajinasi dengan dunia nyata.
Bagaimana dengan dunia fantasi anak? Dunia fantasi anak sekarang lebih banyak diperoleh anak dari tayangan televisi. Anak kecil mana yang tidak kenal dengan Naruto, Dragon Ball, Power Rangers clan sebagainya. Perhatian mereka sangat tinggi terhadap film kartun tersebut. Bahkan, mereka juga hafal jadwal acaranya, walaupun dia belum bisa membaca. Situasi tersebut menunjukkan bahwa betapa anak ingat dekat dengan dunia fantasi.
Daya fantasi anak dapat berkembang sehat melalui dongeng. Anak dibawa ke dunia lain yangbebas dan cenderung liar. Alur cerita diikuti begitu runtut seakan bayangan fantasi itu dapat diwujudkan dalarn kehidupannya. Sekali lagi, kita harus dapat menyeleksi dan ‘dialog’ dengan anak perihal apa yang ada dalam alam fantasinya. Orang tua hanya mendorong dan mengarahkan kemana arah khayalan tersebut yang benar.
Sarana yang paling tepat untuk mengembangkan daya imajinasi dan fantasi anakadalah melalui dongeng.Anaktanpa imajinasi sama artinya dengan membunuh akal manusia, menjadikannya pasif clan tidak terlatih untuk memecahkan permasalahan yang akan dia hadapi. Daya imajinasi dan fantasi melatih otak untuk selalu melihat masalah dan belajar memecahkan pennasalahan tersebut.
Masih membekas dalam ingatan kita, pelajaran yang termuat dalam dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih, Malin Kundang, Cinderella dan sebagainya. Ajaran tersebut masih mengiang di telinga karena disampaikan oleh bapak/ ibu guru kita melalui cerita atau dongerig. Tanpa terasa pengaruh dongeng itu masih menguasai alam bawah sadar kita sehingga sampai sekarang ajaran dalam dongeng tersebut selalu kita ingat.
Sayang seribu sayang, banyak orang tua yang enggan membacakan dongeng dan bercerita untuk buah hatinya. Orang tua menyerahkan pengolahan daya fantasi dan imajinasi anak pada tayangan televisi, anak dipaksa mencarisendiri tokoh idola imajinatifnya. Akibatnya, dongeng yang dahulu kita dapatkan telah berangsur menghilang dan tidak dikenali lagi oleh anak.
Daftar Pustaka
Dewey, John, 1955, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, Terjemahan EM. Aritonang, Jakarta, Seksama
Sarwono, Sarlito Wirawan, 2010, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta, Bulan Bintang.
Mustofa, Bisri, 2011, Mendidik Generasi Berkualitas, Jakarta, Trans Media Abadi.
Purwanto, M. Ngalim, 2009, Ilmu Pendidikan, Teoritis dan Praktis, Jakarta, Rosda.