Santun dalam Mendidik Anak

Santun dalam Mendidik Anak

Oleh : Bisri Mustofa, S.Sos, M.IP

Penyuluh Sosial Muda pada Dinas Sosial PPPA Kabupaten Kulon Progo

Setelah memahami karakter anak, tentunya orang tua akan tahu anaknya termasuk mempunyai karakter yang mana.

Untuk mengetahuinya, orang tua dapat menggunakan cara pengamatan sederhana kepada anak-anaknya. Gejala yang dideteksi sejak dini, akan menentukan bagaimana orang tua bertindak Semakin cepat diketahui gejalanya, semakin cepat ditentukan cara penanganannya.

Apa pun kondisi anak, orang tua tidak boleh putus asa (bagi yang anaknya tengah-tengah atau sulit), juga tidak berbangga hati dan sombong (jika anaknya termasuk anak yang mudah). Orang tua harus waspada dan penuh perhatian terhadap anak-anaknya. Bisa jadi yang tadinya penurut menjadi bandel, dan anak yang sulit menjadi semakin sulit.

Santun mendidik adalah memaksimalkan pola asuh yang tepat. Pola asuh yang diterapkan orang tua sangat berpengaruh pada perilaku dan kecerdasan anak. Pola asuh adalah bagaimana orang tua memberikan pengalaman hidup yang bermakna bagi anaknya. Pengalaman hidup yang santun dan penuh kasih sayang atau sebaliknya kepada anak sejak dilahirkan, akan memengaruhi perkembangan kepribadiannya.

Untuk mendidik anak secara santun, orang tua harus terlebih dahulu memahami kebutuhan fundamental anak serta memenuhinya. Dengan memenuhi kebutuhan dasar tersebut, anak akan tumbuh dengan kepribadian dan karakter yang baik. Pemenuhan kebutuhan tersebut sangat dominan dilakukan oleh seorang ibu, walaupun ayah juga penting perannya.

Menurut pakar pendidikan karakter Ratna Megawangi (2017) dalam bukunya Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, kebutuhan fundamental anak ada tiga, meliputi:

Pertama, kebutuhan akan kelekatan psikologis. Tujuan utama kelekatan psikologis adalah agar anak dapat membentuk kepercayaan kepada orang lain (trust), merasa diri diperhatikan, dan menumbuhkan rasa aman. Orang tua yang dapat menciptakan ikatan emosional yang erat, akan membentuk kepribadian anak menjadi baik.

Kedua, kebutuhan rasa aman. Anak membutuhkan lingkungan yang stabil dan aman. Pola asuh dan pengasuh yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi anak. Lingkungan yang tidak menyenangkan akan membuat anak stres. Kondisi tertekan seperti ini memengaruhi daya serap gizi anak, sehingga anak menjadi kurang asupan gizinya. Sebaliknya, lingkungan dan pola asuh yang menyenangkan akan meningkatkan aktivitas system organ yang sedang berkembang, dan selanjutnya daya serap gizi akan lebih baik, sehingga tumbuh kembang anak menjadi optimal.

Ketiga, kebutuhan stimulasi fisik dan mental. Hubungan timbal balik antara anak dan orang tua sangat penting. Seperti melihat mata anaknya, mengelus, menggendong dan berbicara kepadanya. Selain ibu, ayah dan keluarga yang lain juga mengambil peran penting dalam usaha stimulasi ini. Kasih sayang, perlindungan dan keluarga yang sakinah merupakan kebutuhan tak terelakkan dalam membentuk kepribadian positif anak.

Mendidik dengan santun dapat dilihat dengan terpenuhi­nya ketiga kebutuhan tersebut, dan hal ini menandakan bahwa anak tersebut anak yang diterima. Yaitu anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal (kata-kata yang menunjukkan kasih sayang, seperti dorongan dan pujian), maupun secara fisik (ciuman, pelukan mesra, dan kontak mata yang mesra).

Sebaliknya, apabila kebutuhan tersebut kurang terpenuhi, maka anak tersebut merupakan anak yang ditolak. Baik ditolak secara verbal (bentakan, kata-kata kasar, sindiran dan kata yang dapat mengecikan hatinya), maupun secara fisik (cubitan, pukulan, tamparan dan sesuatu yang menyakitkan). Anak yang ditolak, akan merasa tidak dicintai, tidak diperhatikan, dan tidak dipedulikan.

Anak yang diterima secara verbal ataupun fisik dengan baik, maka pola asuh yang demikian dapat membentuk kepribadian yang berjiwa sosial, percaya diri, mandiri, dan peduli dengan lingkungannya. Adapun anak yang ditolak, baik secara verbal apalagi fisik, akan berakibat anak mudah tersinggung, berpandangan negatif, agresif, minder, dan merasa dirinya tidak berharga.

Kepatuhan anak merupakan dambaan setiap orang tua. Anak akan patuh apabila diperlakukan secara manusiawi dan diterima. Anak yang diterima di lingkungannya dan diberi kepercayaan maka secara otomatis anak akan patuh, baik kepada orang tua dan guru, maupun pada ajaran agama yang diterimanya.

Dalam Islam diajarkan agar dalam mendidik anak tidak dilakukan dengan cara yang kasar. Islam mendakwahkan agar mendidik anak dengan sikap lemah lembut. Hal tersebut terinspirasi oleh firman Allah dalam ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini. (Q.S. Ali Imran  ayat 159)

Walaupun ayat tersebut ditujukan untuk Rasulullah saw dalam membina umatnya, tapi pembinaan itu bersifat universal.

Sikap lemah lembut bukan berarti memenuhi semua keinginan anak. Anak harus diposisikan sebagai manusia yang bisa diajak kompromi, tentunya dengan cara yang lembut dan penuh kasih sayang. Anak harus diberi pengertian sampai dia menentukan sikap sendiri atas pemahaman yang diterimanya.

Dengan alasan demi kebaikan anak, terkadang orang tua berlaku kasar. ”Dengan cara lembut tidak bisa, maka aku harus dengan cara kasar.” Sesungguhnya, perlakuan kasar dan hukuman adalah sesuatu yang tidak diinginkan anak. Yang dia tahu bahwa dengan kemarahan dan kekasaran yang dilakukan orang tuanya menunjukkan bahwa orang tua tidak lagi sayang kepadanya. Maka mendidik dengan santun, lemah lembut penuh, dan cinta kasih (walau dalam kondisi marah sekalipun) kepada anak merupakan kunci pokok suksesnya pendidikan anak.